Tali Itu Bernama BHINEKA TUNGGAL IKA.

0
994
Presiden RI.Ir.H.Joko Widodo.(Indomitramedia.com/Red/IMM/Heri.p)

INDOMITRAMEDIA.COM   _    NKRI HARGA   MATI.

Tali Itu bernama BHINEKA TUNGGAL IKA (Indomitramedia.com/Red/IMM/Heri.p)

Indonesia merupakan negara majemuk dengan beragam budaya, suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Semua menghias indah wajah bangsa Indonesia dibawah naungan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan sebuah nikmat tiada tara yang telah diberikan oleh Tuhan YME.

Kemajemukan bangsa Indonesia terkadang juga menimbulkan perbedaan-perbedaan yang berujung dengan konflik antar golongan. Hal tersebut wajar mengingat Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam kebudayaan, suku, agama, ras dan antar golongan. Namun perbedaan yang berujung konflik seharusnya dapat kita sadari lebih dini sehingga dapat kita minimalisir agar tidak terjadi.

Selain Indonesia, di belahan dunia manapun tidak ada yang mampu membangun sebuah negara kesatuan seperti NKRI, yang mana Indonesia adalah keajaiban di dunia sebab penduduknya terdiri dari beratus-ratus suku bangsa, bahasa, beragam agama dan kepercayaan, warna kulit, berbeda pulau, zona waktu, tapi berada dalam satu negara.

“Membangun puluhan bangsa dan puluhan suku dalam satu negara itu tidak mudah. Di samping teorinya susah, tidak semua bangsa punya. Arab itu mau membangun puluhan bangsa tidak bisa, karena bangsanya hanya satu, yakni bangsa arab.

Begitu juga dengan Eropa, bangsa eropa tidak bisa membangun negara kesatuan, karena Eropa bangsanya hanya satu, yakni bangsa Nordik.

Tak hanya Eropa, bahkan Cina dan Jepang juga sama, hanya mempunyai satu bangsa. Negara kesatuan itu dapat terwujud jika ada berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, ada puluhan bangsa dan suku mampu disatukan dalam satu bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arab itu satu bangsa dipikul puluhan negara, Eropa satu bangsa dipikul puluhan negara, tapi satu-satunya puluhan bangsa dan puluhan suku yang bersatu dalam satu negara hanyalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” jelas Gus Muwafiq, kiyai yang khas dengan penampilan nyentrik dengan rambutnya yang gondrong.

Gus Muwafiq berpesan kepada anak muda selaku generasi penerus bangsa, agar pemuda harus cerdas, karena masa depan bangsa Indonesia ada di tangan para pemuda. Fenomena dunia yang ada di Indonesia itu harus dijaga. Karena seluruh dunia hari ini sedang mengkaji tentang negara kesatuan yang hanya ada di Indonesia.

“Dunia sedang mengkaji, kenapa bangsa Indonesia yang terdiri dari puluhan bangsa dan suku itu bisa bersatu dan anak-anak kecil bisa bilang NKRI harga mati. Padahal dulu bahasa itu adalah bahasa tentara. Nah sekarang anak kecil, anak TK sudah lantang bilang NKRI harga mati. Artinya apa, negara ini tidak akan pecah, karena yang kecil-kecil masih bicara NKRI.” tandasnya.

Di era orde baru, isu SARA digaungkan. Suku bangsa dianaktirikan, istilah minoritas dan mayoritas semakin meluas. Dan pasca reformasi dimana kran kebebasan berbicara dibuka, malah diartikan bebas lepas tanpa batas, isu SARA malah semakin liar demi sebuah kekuasaan.

Mengapa ini bisa terjadi?
Jawabannya adalah politik. Sebuah kata akan berkembang mengikuti pemahaman para pembuat, pemakai, dan penuturnya.

Mayoritas dan minoritas semakin menggema. Pribumi dan Non Pribumi dibangkitkan kembali. Kata “pribumi” diciptakan pemerintah kolonial untuk menyebut objek, mereka yang dijajah, sekaligus menegaskan permusuhan.

Maka hanya pemerintah kolonial yang memakai kata ini untuk melumpuhkan kekuatan rakyat jajahan karena mulai bangkit melawan kesewenang-wenangan mereka.

Apa kita lupa dengan sejarah, dimana para pemuda bersepakat pada 27-28 Oktober 1928 membacakan sebuah maklumat Keindonesiaan melalui Sumpah Pemuda. Kata-katanya tegas: “Kami putra dan putri Indonesia!” Mereka menyebut “kami” karena ikrar itu ditujukan untuk menyatukan kelompok-kelompok pemuda waktu itu, sekaligus menegaskan keberadaan mereka di hadapan pemerintah Belanda.

Mereka tak menyebut diri “kami pribumi Indonesia…”, seperti julukan yang diberikan pemerintah kolonial. Ya, karena mereka sudah diikat dengan kalimat yang menjadi semboyan negara kita tercinta, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”.

Sesanti Bhinneka Tunggal Ika diambil dari karya sastra klasik Jawa Kuno Kakawin Sutasoma. Kakawin ini merupakan karya Mpu Tantular yang digubah pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada masa Majapahit dibawah kepemimpinan dwitunggal Hayam Wuruk-Gajah Mada.

Ditulis dalam bahasa Sanskerta (Jawa Kuno) dengan ragam puisi jenis metrum. Terdiri atas 148 pupuh (bab) dan 1209 bait. Kakawin ini digubah dengan mengemban misi persatuan nasional rakyat Nusantara dibawah kepemimpinan Majapahit, dimana pada saat itu mayoritas warga menganut ajaran Siwa dan Buddha.

Sutasoma merupakan karya monumental yang melampaui zamannya, berisi ajaran moral guna memperkaya khasanah ruang batin bangsa kita. Guna membedah sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang sesuai dengan hal ihwal kelahirannya, kita harus membaca tuntas jalinan aksara sebelum dan sesudah rangkaian kata mutiara tersebut ditulis.

Dalam pupuh 139 bab 4 baris terakhir dituliskan : “Hyang Buddha tan pahi lawan Siwa rajadewa” yang artinya “Tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para dewa”.

Dilanjutkan mutiara kata dalam pupuh 139 bait ke-5 : “Rwaneka datu winuwus wara Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang berarti “Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.

Mereka memang berbeda, namun bagaimana kita mengenali perbedaannya dalam selintas pandang.

Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua”

Pada bagian selanjutnya pada pupuh 139 bait ke-6 : “Aksobhya tatwa kitang Iswara dewa dibya, Hyang Ratnasambhawa sireki bhatara Datta, Sang Hyang Mahamara sirastam ikamithaba, Sryamoghasiddhi sira Wisnu mahadhikara” dimana artinya kurang lebih “Hakikat Akshobya tidak berbeda dengan hakikat sebagai dewa agung Iswara. Ratnasambhawa tidaklah berbeda hakikatnya dengan Bhatara Datta. Mahamara tidaklah berbeda dengan Amitabha. Sri Amoghasiddhi dengan dewa Wisnu yang unggul”.

Berdasarkan untaian kalimat di atas bisa dimaknai bahwa sesanti Bhinneka Tunggal Ika digali pada saat yang tepat, yaitu pada masa Majapahit sedang giat-giatnya menyatukan dan membangun peradaban Nusantara. Seperti yang kita ketahui bersama, Majapahit adalah sistem tata negara terbesar yang pernah ada di Nusantara. Meliputi wilayah Indonesia dan sekitarnya dengan berpusatkan di Jawa Timur.

Dipilihnya semboyan resmi negara dari sastra klasik era tersebut dimaksudkan guna menyerap energi peradaban besar Majapahit agar mempengaruhi romantika sejarah perjuangan anak bangsa. Bahwa kita harus bisa kembali menjadi bangsa yang besar seperti saat Majapahit mengendalikan samudera raya beserta gugusan kepulauan yang ada diantaranya.

Bahwa kita harus bangkit kembali meskipun telah berkali-kali ditempa oleh beragam gemblengan hingga hampir hancur lebur.

Bahwa hukum dialektika perjuangan harus dipenuhi oleh segenap anak bangsa yang memang secara nash-nya telah “ginaris” dilahirkan secara berdarah-darah di tengah hantaman palu godamnya perjuangan melawan anasir penjajahan. Bahwa sesanti itu telah terbukti mampu menyatukan fitrah perbedaan menjadi satu kekuatan yang sangat dahsyat. Kekuatan yang bersumberkan pada pemahaman kesatuan hakikat ajaran pengabdian total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kekuatan yang bermuarakan pada kesetiaan dan kerja keras kolektif untuk kejayaan sebuah bangsa dan negara.

Sesanti tersebut tidak terhenti di kata “Bhinneka” saja tanpa adanya “Tunggal Ika”. Tidak berhenti pada sekedar menghargai adanya perbedaan saja, karena itu akan sama halnya dengan ideom pluralisme yang cenderung statis dan mengagungkan kebebasan. Bhinneka Tunggal Ika jauh lebih dinamis dari sekedar pluralisme.

Karena dalam sesanti ini mengandung elan romantika kejayaan masa lalu.

Selain itu juga mengandung spirit dasar persatuan guna mencapai cita-cita nasional bersama. Sesanti ini mengandung adanya keberagaman yang diikat oleh kerja perjuangan bersama.

Oleh karena itu sesanti tersebut harus dituliskan secara lengkap sebagai Bhinneka Tunggal Ika, karena memang kita sudah selesai dalam frame pemahaman akan adanya perbedaan.

Kita sudah tuntas dalam pengalaman hidup berdampingan yang telah teruji selama ribuan tahun. Yang kita perlukan adalah menjadikan potensi perbedaan tersebut dalam sebuah kesatuan gerak lahir bathin guna melangkah, bekerja dan berjuang bersama.

Pemahaman sesanti yang sesuai dengan kitab Sutasoma mengandung nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Istilah “Bhinneka” mengandung spirit sila kedua dan keempat Pancasila.

Peri kemanusiaan mencintai adanya sebuah perbedaan. Adanya perbedaan tersebut diselesaikan dengan konklusi musyawarah mufakat seperti amanat dari sila keempat Pancasila.

Istilah “Tunggal Ika” mengandung spirit sila ketiga persatuan nasional.

Sedangkan tujuan dari sesanti tersebut adalah seperti prinsip kelima kita yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Semoga sesanti tersebut tidak lagi mengalami reduksi makna, apalagi reduksi kata-kata.

Karena di tiap aksaranya terdapat spirit pusparagam dalam persatuan nasional.

Jangan gunakan perbedaan sebagai pintu masuk memecah-belah persatuan.

Sebaliknya jangan gunakan pula keberagaman sebagai acuan landasan kebebasan tanpa batas moral ala ideom impor kaum liberal.

Mari bersama kita kembalikan spirit Bhinneka Tunggal Ika kepada khittahnya yang asli. Bersatu dan berjuang guna meraih kemenangan bersama!

Kalau isu SARA masih saja menggema, ibarat bom waktu yang siap meledak setiap saat. Awalnya sentimen suku diperuncing, sehingga timbul anti suku atau ras tertentu.

Kemudian diperlebar sentimen Pribumi dan Non Pribumi. Yang Jawa merasa pribumi, lalu memusuhi suku lain karena dianggap non pribumi.

Begitu juga yang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau lainnya juga merasa pribumi di pulau tersebut, sehingga memusuhi suku lain (pendatang) karena dianggap non pribumi.

Ditambah bumbu agama, maka semakin lebar jurang pemisahnya.

Jika demikian, maka tamatlah NKRI karena terpecah belah.

Inikah yang kita inginkan? NKRI HARGA MATI(Rls Dw ArVn4/Red/IMM/Heri.p)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here