Red. Indomitramedia.com
Pembangunan Infrastruktur di Papua, Mengapa Penting Dilakukan?
Presiden Indonesia Joko Widodo saat berkunjung ke provinsi Papua pada bulan Mei 2017 untuk memeriksa kemajuan proyek jalan raya Trans Papua. Foto: Kantor Sekretaris Kabinet.
Ketika mulai menjabat pada bulan Oktober 2014, Presiden Indonesia Joko Widodo menjelaskan bahwa salah satu kebijakan dalam negeri adalah untuk mengembangkan dan membangun infrastruktur di seluruh Indonesia. Presiden meyakini program membangun jalan tol, jalur kereta api dan infrastruktur akan meningkatkan ekonomi lokal dan meningkatkan taraf hidup masyrakat di wilayah terpencil.
Salah satu yang paling diprioritaskan adalah pembangunan infrastuktur di provinsi Papua dan Papua Barat. Meski kaya dengan sumberdaya alam, wilayah ini tertinggal dengan provinsi lain. Jumlah penduduk hidup di bawah garis kemiskinan 25 persen dari populasi. Dua kali lipat lebih dari angka nasional yang sebesar 10,7 persen (BPS, Maret 2017).
“Jika infrastrukturnya bagus, jalan dan pelabuhan bagus, maka ekonomi Papua akan tumbuh lebih cepat karena distribusi logistik untuk barang dan orang meningkat,” kata Presiden saat melakukan kunjungan ke Papua di tahun 2015.
Di antara rencana pembangunan ambisius Jokowi adalah jalan raya Trans Papua, yang diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2018; elektrifikasi penuh di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 (saat ini 47 persen); dan membangun pelabuhan laut yang merupakan bagian dari program tol lautnya. Jumlah yang dikeluarkan pemerintah untuk program ini cukup signifikan. Tahun lalu, Jokowi mengalokasikan Rp85,7 triliun untuk mendanai proyek pembangunan di Papua dan Papua Barat.
Pada bulan Juli 2017, Jokowi mengulangi pentingnya program untuk Papua dan Papua Barat, dan meminta jajaran kabinet dan pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di kedua provinsi tersebut. “Potensi besar seperti itu (di Papua dan Papua Barat) harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat,” kata Jokowi.
Juga terdapat tantangan. Tidak semua orang mendukung perkembangan penuh di Papua dan Papua Barat. Beberapa ahli dan pegiat konservasi berpendapat bahwa dorongan infrastruktur Jokowi akan merusak kawasan lindung di wilayah ini dan menguntungkan bisnis besar dengan mengorbankan masyarakat lokal.
Selama masa transisi menjelang pelantikan Jokowi tiga tahun lalu, sebuah kelompok kerja yang disebut Pokja Papua diciptakan untuk memenuhi janji pembangunan di dua provinsi tersebut. Tim ini dipimpin oleh Judith J. Dipodiputro, seorang ahli hubungan masyarakat yang berpengalaman di sektor publik dan swasta, serta organisasi masyarakat sipil.
Sebelumnya, Dipodiputro menjabat sebagai wakil presiden public relation untuk raksasa minyak dan gas Total Indonesia, dan berhenti pada tahun 2012. Sebelumnya, dia bekerja sebagai penasihat ahli untuk pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, dan sebelumnya merupakan bagian tim humas Kementerian Lingkungan Hidup. Sebelum di Pokja Papua, Dipodiputro juga terlibat sebagai bagian penting di organisasi seperti Yayasan Javan Gibbon dan kelompok pemberdayaan ekonomi Yayasan Rumah-Indonesia.
Mongabay baru-baru ini bertemu dengan Dipodiputro untuk membicarakan kemajuan program pembangunan presiden, dampak lingkungan, dan solusi pemerintah untuk tantangan-tantangan di Papua dan Papua Barat.sumber (Mongabay.co.id) Red. Indomitramedia.com